Tsundoku; Tumpukan Buku yang tidak dibaca

Terakhir kali saya sangat menikmati membaca buku dan membacanya sampai selesai adalah saat saya masih SMA, buku yang saya baca berjudul Inferno karya dari Dan Brown, buku itu saya pinjam dari seseorang dan awalnya saya memaksakan diri untuk membaca hanya karena saya ingin memiliki lebih banyak topik saat menelfon dengan seseorang yang suka membaca dan pernah membaca buku itu dan mengeluh-eluhkannya.

Memang benar. dalam banyak hal, perjalanan / proses justru menjadi yang jauh lebih penting melampaui titik awal dan titik akhir atau tujuan dari sebuah perjalanan. Yang awalnya hanya saya niatkan agar saya memiliki lebih banyak topik pembicaraan pada akhirnya saya pun benar-benar jatuh cinta pada aktivitas membaca terutama buku itu.

Sejak saat itu toko Toga Mas menjadi salah satu toko favorit yang selalu saya kunjungi saat ke Kota, tentu saja tidak untuk membeli karena memang saat itu jangankan membeli buku, bahkan untuk mengisi bensin full tank sepeda motor saja tidak cukup. Saya hanya melihat-lihat dan menikmati perasaan magis saat melihat banyak sekali buku dengan cover yang menarik.

Belasan tahun kemudian, saat ini, setelah saya sudah bisa menghasilkan uang sendiri, saya banyak membeli buku mulai dari buku murah dengan soft-cover hingga buku impor berhasa inggris dengan hard-cover yang harganya setara harga 5 T-shirt uniqlo.

Tsundoku, adalah istilah dalam bahasa jepang yang merujuk pada perilaku membeli dan menumpuk banyak buku tanpa membacanya.

Sayangnya, semua buku yang saya beli dengan uang hasil saya bekerja ini tidak ada yang saya selesaikan, bahkan tidak sedikit yang tak tersentuh sekalipun sehabis saya letakkan di rak, sepulang dari Gramedia.

Meja Makan

Degradasi minat baca buku saya dimulai dari meja makan, disebabkan oleh influence tidak langsung dari lingkungan saya.

Saya pernah bekerja di media company yang produk utamanya saat itu adalah portal berita. Kolega saya mayoritas adalah jurnalis, mendengarkan perbincangan jurnalis antar jurnalis tentu tidak terhidarkan bagi saya saat itu. Misalkan saat kami duduk bareng di meja makan saat makan siang, kadang saya menjadi sedih saat saya tidak dapat memahami topik pembicaraan mereka, saat itu hal-hal yang mereka bicarakan benar-benar diluar wawasan saya tapi saya sangat ingin nimbrung. Disitulah awal mula saya membeli buku atau mencari bacaan yang bukan berdasarkan keinginan saya atau minat saya, namun karena saya ingin se-frekuensi dengan mereka, saya ingin menjadi seperti mereka.

Saya mulai mencoba membaca buku seperti Atomic Habit, Zero to One, Psychology of Money, dan buku-buku semacamnya. Tentu saya tidak mendiskreditkan buku-buku tersebut, hanya saja buku-buku itu bukanlah genre yang dapat saya nikmati sepenuhnya, setidaknya hingga saat ini.

The Social Dilemma

Salah satu alasan saya untuk memulai aktivitas blogging kembali adalah untuk move on dari sosial media. Selama bertahun-tahun waktu luang saya dihabiskan dengan aktivas scrolling sosial media, switching context per menit melalui Instagram Story, saya lelah, saya ingin move on ke aktivitas menulis dan membaca. Setidaknya niat ini saya mulai sejak saya selesai menonton film The Social Dilemma tapi baru dalam tahap mematikan notifikasi tapi masih sering membuka.

Menurut saya sosial media tidak sepenuhnya buruk, kadang saya belajar hal baru atau mendapat informasi penting entah itu yang berkaitan dengan pekerjaan atau life hack. Namun, informasi yang dikemas dalam bentuk audio visual, singkat, sepertinya bukan tipe saya, otak saya sepertinya tidak dirancang untuk menerima informasi singkat dan banyak yang berubah topik setiap satu atau dua menit.

Tumpukan Buku Baru

Seperti kata kutipan yang dikutip oleh teman saya pada blog post Apa itu inklusif.id?

A chef that doesn't eat his cook?

Karena saya sedang membangun publishing platform, blogging platform tentu lucu jika saya sendiri tidak rajin menulis. Itu sama saja seperti musisi yang tidak mendengarkan musik. Untuk mencapai itu, saya harus mengasah kembali skill menulis saya dan tidak ada cara yang paling efektif untuk mengasah skill menulis bagi saya selain memperbanyak membaca.

Dua minggu lalu saya membeli buku Novel terjemahan berjudul LESSONS IN CHEMISTRY yang ditulis oleh BONNIE GARMUS dan saya benar-benar diingatkan kembali ke masa SMA dulu saat membaca novel-novel karya Dan Brown atau Ahmad Fuadi dengan buku Negeri 5 Menara, saya diingatkan kembali tentang seberapa hebatnya otak kita berimajinasi.

Saya ingin mencopot label Tsundoku, saya akan membuat tumpukan buku baru, tapi kali ini saya akan membacanya sambil mengagumi tentang seberapa liarnya otak saya dapat berimajinasi.