Apa itu inklusif.id?

Biasanya yang bikin tulisan seperti ini itu adalah founder-nya sendiri, tapi aku bukan.

Pada dasarnya, situs ini mirip seperti Medium, tapi aku percaya ada racikan lain yang menginspirasi seperti Hashnode, Forem... Mungkin juga WordPress? Trello?

Sebuah situs untuk menulis baru itu sangat ambisius, karena sudah banyak yang jauh lebih lengkap. Namun menurut pengalamanku, sebuah platform yang jauh lebih kecil tetap bisa menyaingi, selama dia punya selaranya sendiri, dan selera itu tiba-tiba cocok saja dengan orang lain.

Indonesia ini menurutku masih kurang literasi membacanya, dan terlanjur teracuni oleh short-form videos seperti TikTok. Yah, inilah efeknya ketinggalan zaman. Tapi bukan itu yang aku bahas. Sebenarnya Indonesia ini sudah banyak website blog dan artikel untuk dibaca, namun Fragmented, dan cenderung tidak bertahan lama atau tidak beraturan, atau bisa dibilang sesuai mood si penulis.

Dan sepertinya platform ini akan berakhir sama? Dilihat dengan tidak adanya konten baru sebulan terakhir. Mungkin karena mantra A chef that doesn't eat his cook? Kalau founder saja tidak pakai produknya sendiri, apalagi orang lain?

Tapi aku tidak menyangkal bahwa aku sendiri saat bikin produk akan demikian, flashback dengan produk digitalku yang aku bikin di tahun 2015 dan 2020. Awalnya cuma iseng bikin solusi sendiri, dan ketika aku jual, tahu tahu laku. Tahu tahu produk itu berkembang di luar dari kebutuhanku sendiri, dan akhirnya menjangkau ke semua use case yang kiranya orang membutuhkan.

Tapi aku yakin founder platform ini berpikiran yang sama, karena gak ada platform yang pas, jadinya bikin platform sendiri. Problemnya ada bagaimana caranya meyakinkan orang lain punya masalah yang sama dan akhirnya yakin untuk berpindah ke platform itu.

Pengalamanku Sendiri

Aku punya banyak produk yang akhirnya sepi dan terbengkalai. Aku cuma punya dua produk yang sukses, dan dua duanya mengajariku banyak hal tentang membuat produk digital.

Pada tahun 2015, aku membuat Unity plugin agar bisa menulis LaTeX. Sesederhana itu idenya, namun bisa dibilang ada ribuan orang sudah membeli itu. Aku sebut ini adalah menemukan peluang market di dalam market. Dan karena saat itu Unity masih baru-barunya populer, akhirnya sampai sekarang gak ada yang menyaingi.

Kenapa bisa sukses? Karena dulu aku butuh sebuah plugin LaTeX dalam Unity agar aku bisa menulis rumus sebagai media pembelajaran. Sekarang bayangkan apakah masalah itu ditemukan sampai ribuan orang? Ternyata iya.

Pada tahun 2020, aku meluncurkan platform hosting yang setengah VPS setengah Vercel. Yang ini menantang, karena bisa apa aku di hadapan VPS dan PaaS giant yang jauh lebih matang? Kalo di dalam teori bisnis, ini dinamakan disruptive business... ya wajar karena semua tech company lagi racing-racing-nya demi tahta solusi tech yang dominan di ranah consumer.

Kenapa bisa sukses? Karena dulu aku kesel hostingan indonesia rata-rata cuma bisa PHP, dan VPS mahal. Cloud juga mahal. Vercel yang gratis, terlalu kompleks. Sekarang bayangkan apakah masalah itu ditemukan sampai ribuan orang? Ternyata iya, tapi versi gratisannya doang yang sampai ribuan heheheheee.

Sekarang, bayangkan problem apa yang dapat diselesaikan oleh inklusif.id? Apa keunggulannya dibandingkan Medium dan WordPress?


Jawabannya setiap orang pasti beda-beda. Karena mungkin, project ini hanyalah prototip biar owner-nya belajar hal baru kayak CRDT, sama kayak foundernya Redox OS katanya wkwkw.

Ibarat seperti prototip tech baru yang gagal seperti Apple Vision Pro dan Rabbit R1. Produk tech tersebut fresh dan canggih banget, tapi orang-orang gagal mencari use-casenya, bak seperti A solution looking for a problem. Apakah platform ini juga sama?

Indonesia Butuh Platform Writing Baru?

Platform writing yang proven works untuk netizen Indonesia sampai sekarang adalah WordPress, Medium. Twitter dan Quora sebenarnya iya juga sih. Ya, disayangkan mereka bukan buatan anak Indonesia semua, jadi platform ini mewakili wkkw.

Aku dulu suka baca-baca artikel di WordPress (jaman 2014 s/d 2018). Kalau suka sama writing style satu artikel disitu, aku auto baca semua tulisan karya dia. Yang menarik dari sistem WordPress itu mereka ada aplikasi Feed Reader sama Discover (buat eksplor situs baru), and it works baik itu website yang di host di wordpress.com ataupun self-hosting.

Menurutku, sampai sekarang gak ada yang ngalahin platform WordPress. Ya, banyak banget artikel indonesia yang bagus di Twitter dan Quora, tapi discoverability dia jelek, dan random banget orang nulis disitu. Medium? Aku dulu suka, sampai Medium ngasih pilihan buat nge-set artikelnya behind paywall.

Aku dulu suka banget "nongkrong" di platform WordPress, dan bermimpi suatu saat aku mau nulis disitu. Tapi ketika aku mulai itu, aku merasa jorok sendiri, karena ada iklan di blog ku. Ketika aku mau self-hosting kontenku, aku merasa kontenku seperti terisolasi. Akhirnya gairah ku menulis juga turun, dan kontennya random banget.

Aku berharap curhat ini merupakan direct feedback kalau founder platform ini bingung mau di-kemana-kan platform ini. Karena memang, sebenarnya potensinya gede. Dan editornya emang cakep banget. Platform komennya juga solid. Tinggal ownernya ini perlu dikasih banyak feedback, soalnya aku request bikin halaman user dari dua bulan yang lalu gak dikasih kasih 🙃

Yang perlu diperhatikan ketika platform ini mulai growing: cara mengatasi spam dan content moderation. Apa platform ini khusus tech atau umum dengan filter genre tertentu.

Aku gak masalahin revenue platform, karena kayaknya foundernya udah kaya juga. Untuk server, toh sebenarnya spek gak perlu gede dan dia tahu cara optimize to the max. Aku sendiri bikin SaaS gratis untuk 45000+ website, masih aman2 aja pakai 5$ VPS wkwk.